Display Buku
Sang Pemimpi : cover film(new edition)
 
Rp 69.000
Hemat Rp 3.450
Rp 65.550

 
Apa itu Resensi?

Resensi adalah pertimbangan, pembicaraan atau ulasan sebuah buku.
Resensi itu bukan sekadar menceritakan isi buku atau sinopsis.
Resensi adalah penilaian Anda secara kritis setelah membaca isi buku, apa kelebihannya atau kekurangannya.
Jadi sekali lagi, resensi tidak sama dengan sinopsis dan resensi tidak mengandung spoiler (membocorkan isi cerita yang penting).
Resensi dari sabilbul
 
  31 Agu 2008 - 12:20:25

Isi Resensi :
Manusia yang Tak Akan Pernah Mendahului Nasib


“Biar kau tahu, Kal, orang seperti kita ini tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi. Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati…” Sesuai judulnya, Sang Pemimpi, buku kedua dari tetralogi Laskar Pelangi ini memang bercerita tentang impian. Andrea Hirata melukiskan pengalaman hidupnya sejak SMA hingga menerima beasiswa bersama teman-temannya sesama pemimpi, Arai dan Jimbron, dengan lincah dan hidup. Cerita diawali dengan adegan kejar-kejaran antara Pak Mustar, wakil kepala sekolah yang juga merupakan pendiri SMA negeri pertama di kampung mereka, dengan Arai, Jimbron, dan Ikal -panggilan akrab Andrea. Pak Mustar terkenal sangat galak dan kejam jika memberikan hukuman. Ia terinspirasi kata-kata Deng Xio Ping yang menjadi pedoman tindakan brutal tentara pada mahasiswa di Lapangan Tiannanmen. “Masalah orang muda seperti akar rumput yang kusut. Jika dibiarkan pasti berlarut-larut. Harus cepat diselesaikan dengan gunting yang tajam!” Berbeda dengan Pak Balia, kepala sekolah SMA tersebut. Beliau selalu mendorong murid-muridnya bermimpi setinggi langit. Suatu kali ia berkata di depan kelas, “Setiap peristiwa di jagat raya ini adalah potongan mozaik-mozaik. Maka berkelanalah di atas muka bumi ini untuk menemukan mozaikmu!” Ucapannya itulah yang membuat Ikal, Arai, dan Jimbron berani bermimpi, bertekad akan sekolah sampai ke Prancis, menjejakkan kaki di altar suci alamamater Sorbonne, menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Jika Pak Balia mendorong mereka untuk bermimpi setinggi langit, Pak Mustar-lah yang ‘memaksa’ murid-muridnya menggapai langit mimpi itu. Seperti ketika Ikal kehilangan semangat untuk mewujudkan mimpinya. Pak Mustar menyemprotnya habis-habisan, mengingatkannya akan ayahnya yang selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya, dan mempertanyakan ke mana larinya mimpi-mimpi itu. Membuat Ikal sadar, pesimis adalah sikab takabur mendahului nasib. Padahal, seperti kata Arai, manusia tak akan pernah mendahului nasib. Karena itulah manusia bisa bermimpi dan berusaha mewujudkan mimpi-mimpi tersebut. Dibandingkan buku pertamanya, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi memiliki alur yang lebih tertata, tidak meloncat-loncat membingungkan. Andrea juga tidak lagi terkesan ingin ‘pamer pengetahuan’ dengan memasukkan banyak sekali nama-nama latin yang cukup mengganggu pembaca, seperti terjadi pada Laskar Pelangi. Di Laskar Pelangi, setelah lulus dari sekolah Muhammadiyah, cerita meloncat 13 tahun kemudian. Sang Pemimpi mengisahkan ‘bagian yang hilang’ tersebut. Secara keseluruhan, bisa dibilang Sang Pemimpi menyempurnakan Laskar Pelangi, baik dari segi isi maupun penulisan. Membaca Sang Pemimpi adalah membaca berbagai fragmen kehidupan manusia. Kadang resah, kadang sedih, kadang ‘gila’, juga bahagia. Kita dihadapkan pada berbagai persoalan kehidupan. Namun akhirnya, sekeras apapun hidup, kita tidak boleh berhenti berkelana untuk menemukan kepingan mozaik kehidupan kita, karena kita tak akan pernah bisa mendahului nasib.
Rating
+1 rating+1 rating+1 rating+1 rating+1 rating


 
 
[Semua Resensi Buku Ini]