Display Buku
A Thousand Splendid Suns
 
Rp 59.000
Hemat Rp 2.950
Rp 56.050

 
Apa itu Resensi?

Resensi adalah pertimbangan, pembicaraan atau ulasan sebuah buku.
Resensi itu bukan sekadar menceritakan isi buku atau sinopsis.
Resensi adalah penilaian Anda secara kritis setelah membaca isi buku, apa kelebihannya atau kekurangannya.
Jadi sekali lagi, resensi tidak sama dengan sinopsis dan resensi tidak mengandung spoiler (membocorkan isi cerita yang penting).
Resensi dari unai
 
  13 Apr 2008 - 11:57:23

Isi Resensi :
Pengorbanan Tiada Akhir


Afganistan adalah sebuah negara yang berada di Asia Tengah. Berbatasan dengan Iran di sebelah barat, Pakistan di sebelah timur, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan di sebelah utara, serta Tiongkok yang terletak di ujung bagian timur. Berbatasan dengan Kashmir, yang merupakan wilayah yang dipersengketakan oleh India dan Pakistan. Afganistan merupakan salah satu negara termiskin di dunia. Peperangan dan konflik politik kerap mewarnai negeri ini. Afganistan sendiri sangat bergantung pada pertanian dan peternakan. Ekonominya melemah akibat kerusuhan politik dan militer. Sebagian penduduk mengalami krisis pangan, sandang, papan, dan minimnya perawatan kesehatan. Kondisi inilah yang mungkin menginspirasi Khaleed Hosseini untuk membangun sebuah cerita drama yang berbalut perang, kemiskinan, dan penindasan di Afganistan dengan judul A Thousands Splendid Suns yang merupakan novel keduanya setelah The Kite Runner yang menyabet sukses di seluruh dunia. A Thousands Splendid Suns, sebuah judul yang berasal dari puisi yang ditulis oleh Saeb-e-Tabrizi, seorang pujangga Persia yang berasal dari abad ke tujuh belas. ”Siapa pun takkan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar di atas atap, ataupun seribu mentari suga yang bersembunyi di balik dinding” Afganistan tahun 1964 sampai dengan 2003, merupakan latar belakang novel ini. Tokoh utamanya adalah Mariam, seorang harami (anak haram) yang tidak akan pernah mendapatkan hak seperti yang didapatkan oleh orang lain. Pada bagian pertama novel ini, Hosseini mengisahkan tentang Mariam dan Nana ibunya yang disingkirkan di sebuah desa terpencil Adalah Jalil, majikan yang menghamili Nana. Merupakan seorang yang terpadang dan kaya di Herat. Bagi Jalil dan ketiga istrinya terdahulu, Nana dan Mariam adalah gulma, rumput liar yang harus dicabut dan dibuang. Meskipun Jalil “membuang” keduanya dan tidak mengakui Mariam sebagai anaknya, namun Jalil mengunjungi Mariam rutin setiap Kamis, untuk bercerita tentang banyak hal, salah satunya tentang kota kelahiran Maryam ; Herat pada tahun 1959, yang pernah menjadi jantung kebudayaan Persia, kampung halaman para penulis, pelukis dan penari. Jalil juga tak pernah memanggil Mariam dengan sebutan harami. Inilah yang membuat Mariam mencintai Jalil. Begitu bangganya Mariam akan Jalil yang berpengetahuan luas ini. Mengelukannya dalam hati, meski ia juga mendengarkan dengan patuh ucapan-ucapan Nana dan cerita buruk tentang Jalil. Maryam ingin sekali bisa menonton film Pinokio di bioskop milik ayahnya, saat ulang tahunnya ke-15. Jalil ingkar janji, ia tak datang menjemput Mariam. Mariam bersikeras untuk tetap datang ke Herat, meski Nana tidak membolehkannya. Kenekatan Mariam berbuah pahit, Nana tewas gantung diri. Tewasnya Nana, memaksa Jalil mengasuh Mariam. Namun tak ada kebahagiaan di Herat untuk Mariam. Ia malah dijodohkan dengan laki-laki tua, duda, pengusaha sepatu di kabul. Pernikahan Mariam dengan rasheed adalah dalam rangka menyingkirkan aib, taktik ini dimobilisir oleh ketiga istri Jalil. Sejak itu, Mariam membenci Jalil. Di awal pernikahan Mariam-Rasheed, tak ada permasalahan yang berarti kecuali sikap Rasheed yang over protective. Ini karena Rasheed pernah kehilangan anak lelakinya yang meninggal di danau. Mariam yang mengalami keguguran berkali-kali membuat Rasheed berang. Sikapnya berubah, kesalahan kecil yang dibuar Mariam membuar Rasheed naik pitam, lantas memperlakukan Mariam dengan kasar ; memukul, menampar, dan menendangnya. Pada bagian kedua novel ini, Hosseini mengetengahkan sosok Laila, seorang gadis belia yang tiba-tiba menjadi yatim-piatu. Kedua orang tuanya meninggal dunia akibat perang anrtarfaksi berkecamuk. Sejumlah temannyapun tewas, dan keluarga Tariq-sahabat kecilnya memilih menungsi, menghindari hal buruk yang timbul karena perang. Laila yang sebatangkara ini diselamatkan oleh Rasheed. Alih-alih menyelamatkan jiwa Laila dan menyembuhkan lukanya, Rasheed malah mempersunting gadis ini. Dengan alasan menyembunyikan kehamilannya, buah cintanya dengan Tariq, Laila bersedia menjadi istri Rasheed. Awalnya Mariam marah karena Rasheed betul-betul merendahkan Mariam dengan mengharuskannya memenuhi segala kebutuhan Laila. Laila melahirkan anak perempuan, diberi nama Aziza. Rasheed tak menyukainya. Lambat-laun kebencian Mariam memudar, berganti dengan rasa sayang dan empati karena Laila mendapat perlakuan kasar dari Rasheed. Persahabatan Mariam-Laila melahirkan rencana untuk melarikan diri dan membebaskan dari belenggu kekejaman Rasheed. Sayangnya upaya mereka gagal. Mariam dan Laila acap mendapat penyiksaan. Penderitaanpun berlipat ketika suasana di luar sangat tidak menguntungkan bagi wanita. Tingkat pendidikan yang rendah, sangat mendeskriditkan perempuan. Perempuan menjadi sangat tergantung pada kekuasaan laki-laki karena di masa pendudukan Taliban, perempuan dilarang bekerja dan keluar rumah kecuali dengan lelaki yang menjadi muhrimnya. Lahirnya Zalmai, anak laki-laki idaman Rasheed tidak juga membuat perangainya berubah. Kemiskinan Rasheed akibat terbakarnya tokonya membuat Rasheed semakin membuatnya kalap. Aziza dititipkan di panti asuhan. Ini yang mampu membuat perasaan pembaca tertampar, seorang anak dipisahkan dengan ibu dalam kondisi ekonomi yang carut-marut. Mariam tewas di tangan Taliban yang memberlakukan hukum mati karena telah melakukan pembunuhan terhadap Rasheed, Tariq yang semula dikabarkan tewas, pada akhirnya menikah dengan Laila dan membawa serta kedua anaknya Aziza dan Zalmai untuk tinggal di pengungsian wilayah Pakistan. Hosseini menyajikan kedetailan tahun-tahun pertikaian pada saat itu. Pembaca juga diajak untuk lebih mengenal Najibullah, Mujahidin, dan Taliban. Tak hanya itu, pembaca dihadapkan pada gambaran penderitaan rakyat Afganistan. Alur cerita yang lambat tak lantas membuat novel ini membosankan, bahkan pembaca dibuat tak berkutik membaca halaman demi halamannya. Novel ini diterjemahkan dengan sangat apik dan indah sehingga pembaca tidak mengalami kesulitan dalam menikmatinya. Seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dinding, kini menampakkan cahayanya. (Nai)
Rating
+1 rating+1 rating+1 rating+1 rating+1 rating


 
 
[Semua Resensi Buku Ini]