Display Buku
Glonggong
 
Rp 39.900
Hemat Rp 1.995
Rp 37.905

 
Apa itu Resensi?

Resensi adalah pertimbangan, pembicaraan atau ulasan sebuah buku.
Resensi itu bukan sekadar menceritakan isi buku atau sinopsis.
Resensi adalah penilaian Anda secara kritis setelah membaca isi buku, apa kelebihannya atau kekurangannya.
Jadi sekali lagi, resensi tidak sama dengan sinopsis dan resensi tidak mengandung spoiler (membocorkan isi cerita yang penting).
Resensi dari unai
 
  04 Okt 2007 - 12:02:26

Isi Resensi :
Memahami Sejarah Perang Jawa


Membaca judul buku ini terlintas dalam benak saya suatu kegiatan yang dilakukan sebelum menyembelih sapi dengan tujuan agar berat sapi bertambah. Glonggong, mengandung arti memberi minum sebanyak-banyaknya kepada sapi yang hendak disembelih. Namun ternyata glonggong yang satu ini berbeda, glonggong berarti batang daun berarti batang daun pepaya yang kemudian dijadikan pedang yang digunakan anak-anak di suatu tempat sebagai senjata dalam permainan perang-perangan. Novel ini adalah novel sejarah berlatar Perang Jawa yang bercerita tentang seorang pemuda yang mahir dalam memainkan pedang glonggong. Ia bernama Danukusuma. Julukan glonggong melekat pada Danukusuma sejak Ia bertarung dengan menggunakan glonggong dengan Suta. Namun ia kalah, dalam aturan mainnya adalah menjadikan wajah lawan sebagai sasaran utamanya. Pemain, kalau mukanya sudah terkena sabetan pedang glonggong harus pura-pura tersungkur mati, di manapun peristiwa kena sabet itu terjadi. Nah, Danukusuma ini kalah ketika bertarung melawan Suta. Suta berhasi menyabet muka Danukusuma dengan glonggongnya, dan sesuai aturan main, ia harus menyungkur, pura-pura mati. Ketika ia jatuh terjerembab, seketika Bendara Raden Mas Antawijaya yang dikenal dengan nama Kangjeng Pangeran Aria Dipanegara, menolongnya dan memanggilnya dengan panggilan “Glonggong”. Sejak itulah Danukusuma dipanggil Glonggong oleh teman-temannya. Ia juga semakin mahir mengayunkan glonggongnya dan berkat kemahirannya itu, ia disegani teman-temannya. Nama glonggong itu terus melekat dengan dirinya hingga dewasa. Glonggong adalah keturunan ningrat. Ibunya seorang Raden Ayu dari daerah Tegalreja yang menikah dengan Kiai Sena, seorang jagabaya (penjaga kemanan) dari wilayah Bagelen. Sayangnya ini tak berlangsung lama. Tidak lebih dari lima tahun saja. Kiai Sena raib begitu saja, pergi entah ke mana karena ia menjadi salah satu anggota pemberontak yang waktu itu dipimpin oleh Raden Rangga Prawidirja. Namun pemberontakan itu gagal. Pengikut Raden Rangga Prawiradirja yangtidak mati terbunuh dalam pertempuran, lari cerai berai. Yang tertangkap hanya memiliki dua pilihan, dibunuh atau dijebloskan dalam penjara seumur hidup. Kiai Sena tak tau rimbanya ; apakah ia mati terbunuh, atau hidup menggelandang di jalan. Ibu Glonggong kemudian menikah lagi dengan Raden Suwanda. Ayah tiri Glonggong ini tidak lalu meganggap Glonggong sebagi anaknya sendiri. Raden Suwanda adalah orang lain bagi Glonggong, bukan siapa siapa. Glonggong tumbuh dalam asuhan kedua orang pembantunya. Hidupnya mulai sengsara ketika ia dan ibunya dibuang ke sebuah gubuk karena ibu Glonggong dianggap sakit jiwa dan Raden Suwanda mendapat pendamping hidup yang baru. Glonggong remaja harus merawat ibunya sendirian. Hingga akhirnya ibunya meninggal dunia dan Glonggong menjadi sebatang kara. Glonggong tumbuh semakin dewasa. Kesulitan hidup membuatnya tabah dan jadi pekerja keras. Akhirnya, dia mengabdikan diri kepada seorang bangsawan yang mendukung perjuangan Pangeran Dipanegara melawan kompeni. Saat itu, dia baru menemukan bahwa dia memiliki kakak perempuan yang menjadi simpanan seorang bangsawan. Dalam sebuah tugas, ia mengawal peti harta karun laskar Dipanegaran untuk ditukarkan dengan senjata, namun di tengah jalan Glonggong mendapat serangan dari para bagal. Ia terluka cukup parah. Kemudian ia dirawat oleh perempuan yang pernah di temuinya di suatu perkampungan PSK. Dan setelah sembuh, ia diperhadapkan dengan munculnya orang yang menyamar menjadi dirinya dan membunuhi penduduk desa. Selain itu ia juga bertekad untuk menemukan kembali harta karun yang direbut oleh para bagal sebagai tanggung jawabnya pada Sang Pangeran. Novel Glonggong ini adalah buah karya Junaedi Setiono. Beliau adalah dosen di Universitas Muhammadiyah Purworejo, dan ini merupakan novel pertamanya sekaligus menyabet juara ke-empat (harapan I) dalam sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006. Beliau juga memenangkan sayembara penulisan cerpen dan puisi. Cerpen dan Puisi-puisinya telah dimuat di media masa lokal (Porworejo), juga dapat ditemui dalam beberapa antologi puisi yang terbit sejak tahun 1988, dan yang terakhir, kumpulan puisi dan cerpennya dibukukan alam antologi Kemuning (2005). Membaca novel setebal 293 halaman ini seolah mengajak kita membaui sejarah Perang Jawa atau De Java Oorlog (Belanda). Perang Jawa adalah perang besar dan menyeluruh yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro atau yang dalam novel ini disebut-sebut sebagai Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Sayangnya cover novel ini tidak semenarik ceritanya. Kalau saja tidak membaca endorsmen Ahmad Tohari di halaman belakang sampul buku ini, mungkin pembaca tidak akan tertarik dengan buku yang bersampul merah dengan gambar pendekar yang tak tampak mukanya, membawa sebentuk kayu panjang seperti pedang ini. Namun begitu Junaedi Setiono memang layak memenangkan pemenang lomba menulis novel Dewan Kesenian Jakarta. Pasti, anda tak akan rugi membacanya. (Nai)
Rating
+1 rating+1 rating+1 rating+1 rating+0 rating


 
 
[Semua Resensi Buku Ini]