Display Buku
Tetralogi Laskar Pelangi #3: Edensor
 
Rp 44.500
Hemat Rp 2.225
Rp 42.275

 
Apa itu Resensi?

Resensi adalah pertimbangan, pembicaraan atau ulasan sebuah buku.
Resensi itu bukan sekadar menceritakan isi buku atau sinopsis.
Resensi adalah penilaian Anda secara kritis setelah membaca isi buku, apa kelebihannya atau kekurangannya.
Jadi sekali lagi, resensi tidak sama dengan sinopsis dan resensi tidak mengandung spoiler (membocorkan isi cerita yang penting).
Resensi dari htanzil
 
  26 Jun 2007 - 09:03:16

Isi Resensi :
Edensor


“Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.” - Arai Semua orang pasti memiliki mimpi. Namun hanya sedikit orang yang berani menjadikan mimpinya sebagai tujuan hidupnya dan berusaha dengan segala upaya untuk mewujudkan mimpinya. Tak sedikit orang hanya menjadikan mimpi sebagai angan-angan yang seolah tak mungkin terjangkau, sehingga ia menyerah pada mimpinya, melupakannya, dan tenggelam dalam rutinitas hidup yang menjeratnya. Ikal dan Arai adalah pemimpi yang berani. Walau terlahir dalam keluarga sederhana di Belitong, mereka memiliki mimpi setinggi langit. Mimpi yang diperolehnya dari Pak Balia, guru SMA-nya. “Murid-muridku, berkelanalah, jelajahi Eropa, jamah Afrika, termukan mozaik nasibmu di pelosok-pelosok dunia. Tuntut ilmu sampai ke Sorbonne di Prancis, saksikan karya-karya besar Antoni Gaudi si Spanyol.” (hal 34) Kalimat Pak Balia itu begitu menyentuh, menggelisahkan hati dan pikiran mereka dan menyimpannya sebagai mimpi yang harus mereka raih. Walau untuk menjelajahi Eropa bagaikan punguk merindukan bulan, mereka tak menyerah dengan keterbatasan mereka dan terus berusaha untuk mewujudkannya. Mimpi itulah yang menjadi benang merah dari seluruh kisah kehidupan Ikal yang kemudian ditulisnya dalam bentuk novel hingga lahirlah apa yang disebut sebagai Tetralogi Laskar Pelangi. (Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov). Setelah sukses di dua novel terdahulunya, kini terbitlah novel ketiganya “Edensor”. Jika dalam Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi Ikal bertutur mengenai mimpinya dan usahanya untuk meraih mimpi-mimpi besarnya. Di buku ketiganya ini, apa yang menjadi impian mereka benar-benar terwujud. Dalam Edensor mereka benar-benar telah berada dalam tanah yang telah dijanjikan oleh mimpi-mimpi mereka. Masih dalam gaya bertutur dan penyajian yang sama seperti di buku keduanya, dimana Andrea merangkai kisah-kisahnya dalam penggalan-penggalan mozaik kehidupan. Demikian pula dalam Edensor. Kisah-kisahnya pendek-pendek saja (5-10 hal) sehingga di buku setebal 288 halaman ini memuat 44 mozaik/bab yang ditulis dengan lancar dan memikat Tak heran banyak pembaca mengaku membaca buku ini dalam sekali duduk. Di sepuluh mozaik pertama, novel ini kembali mengisahkan kisah-kisah Ikal semasa masih di P. Belitong, bekerja di Bogor, hingga keberangkatannya menuju Sorbonne-Prancis. Di bagian ini ada beberapa kisah yang menarik antara lain kisah kelahiran si Ikal, bagaimana perjuangan Ibunya agar bisa melahirkan tepat pada tanggal kelahiran PBB (24 Oktober) agar kelak Ikal bisa menjadi juru pendamai. Lalu ada pula kisah bagaimana nama Ikal yang sebelumnya pernah diberi nama Aqil Barraq Badruddin harus diganti karena dirasa memberatkan. Namanya diganti menjadi Wadudh, dan akhirnya diganti lagi menjadi Andrea Hirata. Nama yang tak lazim bagi seorang anak melayu di Belitong. Di mozaik-mozaik berikutnya barulah novel ini menceritakan mengenai pengalaman Ikal dan Arai di tanah impiannya – Sorbonne - Prancis. Hal ini menarik karena mengungkap bagaimana mereka harus menjalani kehidupan di sebuah dunia yang benar-benar baru. Ketika baru saja Ikal dan Arai menginjakkan kaki di Belgia, mereka terlunta-lunta di jalan dan didera cuaca dingin yang menggila yang hampir saja merengut nyawa mereka. Geger budayapun dialami oleh mereka, Ikal menemukan berbagai paradoks antara apa yang dilihatnya di Eropa dengan keadaan di tanah kelahirannya. Dan yang paling menarik dari novel ini terdapat di mozaik 31 hingga selesai. Di bagian ini dikisahkan pertaruhan Ikal dan kawan-kawannya untuk mengelilingi Eropa pada saat liburan musim panas. Masing-masing membentuk kelompoknya sendiri-sendiri. Ikal berpasangan dengan Arai. Yang menang adalah mereka yang dapat menempuh paling banyak kota dan negara. Yang kalah harus mengurus laundry peserta lain selama tiga bulan, dan yang paling memalukan, harus menuntun sepeda secara mundur dari museum legendaris Le Leouvre ke gerbang L’Arc de Triomphe dimana di sepedanya digantungi pakaian-pakaian rombeng. Ikal dan Arai melakukan perjalanannya sebagai backpaker. Untuk membiayai perjalanannya mereka harus rela menjadi pengamen seni, yaitu menampilkan seni patung dimana Ikal dan Arai menjadi patung dan berdandan sebagai seekor putri duyung. Perjalanan mereka penuh tantangan, ketika kehabisan uang, mereka harus makan daun-daunan mentah untuk bertahan hidup. Namun Ikal dan Arai tak pernah menyerah, mereka manusia yang hidup dalam mimpinya. Hanya berbekal impian, keberanian dan tekad untuk memenangkan taruhan, mereka akhirnya mereka mampu melakukan perjalanan ke 42 negara di Eropa, Rusia hingga menjejakkan kakinya ke Afrika! Ketika kembali ke Paris, Ikal kembali menekuni kewajibannya sebagai mahasiswa. Ia tenggelam dalam risetnya. Berita buruk diterimanya karena Prof Turnbull, pembimbingnya akan pensiun dan pulang kampung dan bekerja di Sheffiled Inggris. Khawatir tesisnya terbengkalai, Ikal terpaksa mengikuti exchange program ke Shieffield Hallam University untuk melanjutkan risetnya dibawah bimbingan Prof Turnbull. Kini Ikal semakin dekat dengan Edensor, sebuah desa di Inggris yang selama ini hanya dibacanya di novel karya James Herriot pemberian A ling, gadis Hokian pujaan hatinya. Di novel ketiganya ini Andrea tampaknya masih konsisten dengan gaya bertuturnya di dua novel terdahulunya. Kalimat-kalimatnya kerap menggunakan metafora-metafora yang mengejutkan dan mampu membuai pembacanya untuk masuk dalam kisahnya. Tak hanya kisah serunya berpetualang ke berbagai negara yang akan diperoleh pembacanya, dalam setiap kisahnya Andrea juga senantiasa menyelipkan berbagai perenungan bijak yang membuat pembacanya bergetar dalam haru, miris atau tersentuh semangatnya ketika membaca kisah-kisahnya. Selain menyentuh pembacanya, novel ini juga menyajikan kelucuan-kelucuan yang menghibur. Walau kadar kelucuannya tak sampai membuat pembacanya tertawa-tawa seperti di novel keduanya, dalam edensor sisi humornya antara lain terdapat dalam pencarian Ikal terhadap pujaan hatinya A Ling. Untuk mencari jejak A Ling, ia mengandalkan kecanggihan Internet. Ia memasukkan nama A Ling di search engine dan menemukan nama itu berada di berbagai negara dan kota di Eropa,. Dengan modal ini maka setiap Ikal mengunjungi negara tertentu dia menyusuri alamat yang diperolehnya dari internet. Kelucuan merebak ketika ternyata nama A Ling yang diperolehnya ternyata seorang wantia tua, nama sebuah tempat, hingga nama merk obat kuat. Bagi mereka yang suka melakukan perjalanan traveling ala backpacker, novel ini juga memberikan berbagai tips yang menarik seperti negara-negara mana yang menghargai para backpacker, fungsi baju second skin untuk mengatasi dingin, pengalaman bergaul dengan backpacker kanada, tempat-tempat tidur yang aman apakah di aman, di emper toko, di terminal, dll, termasuk cara membaca arah dengan membaca rasi bintang belantik. Dari berbagai kisah yang dimunculkan dalam buku ini, tampaknya Andrea memang sosok yang sarat pengalaman hidup dan pengetahuan, selain mampu menebar semangat dan inspirasi bagi pembacanya untuk berani mewujudkan mimpinya, di novel ketiganya ini kita akan melihat Andrea juga dengan cerdas memadukan sains, fisika, kimia, biologi, ekonomi, sastra, dan tak ketinggalan kritik-kritik sosial terhadap indonesia yang dilihatnya sebagai paradoks dari pengalamannya hidup di luar negeri. Yang tak kalah menarik adalah monolognya dengan ekonom dunia Adam Smith yang menyerang kaum monetaris yang bersekongkol mengumpulkan uang agar negara seperti Indonesia tergadai karena berhutang. Dari ketiga karya Andrea, saya rasa novel pertamanya tetap lebih dahsyat dibanding Sang Pemimpi dan Edensor. Bukan berarti dua yang terakhir buruk, namun dalam Sang Pemimpi dan Edensor, ekplorasi karakter tokoh dan peristiwa tak sedalam Laskar Pelangi. Mungkin ini akibat gaya betutur Andrea di novel kedua dan ketiganya yang dipenggal-penggal dalam peristiwa-peristiwa yang dialaminya sehingga lebih menyerupai cerpen dengan benang merah yang kuat, yaitu mimpi Ikal dan Arai. Namun terlepas dari perbandingan antara novel pertama, kedua, dan ketiganya. Dari tiga karya Andrea yang telah diterbitkan, ketiga-tiganya sangat berpotensi dalam memberikan letupan inspirasi bagi pembacanya untuk tidak menyerah dalam mengejar mimpi. Semua telah kami rasakan, dalam kemenangan manis yang gilang gemilang dan kekalahan getir yang paling memalukan, tapi tak selangkah pun kami tak mundur, tak pernah. Kami jatuh, bangkit, jatuh lagi, dan bangkit lagi. (hal 277) - Ikal -
Rating
+1 rating+1 rating+1 rating+1 rating+0 rating


 
 
[Semua Resensi Buku Ini]