Apa itu Resensi?
Resensi adalah pertimbangan, pembicaraan atau ulasan sebuah buku.
Resensi itu bukan sekadar menceritakan isi buku atau sinopsis.
Resensi adalah penilaian Anda secara kritis setelah membaca isi buku, apa kelebihannya atau kekurangannya.
Jadi sekali lagi, resensi tidak sama dengan sinopsis dan resensi tidak mengandung spoiler (membocorkan isi cerita yang penting).
|
|
|
15 Apr 2007 - 21:27:26
Isi Resensi : Menebak benak Seorang Teroris
Judul : Terorist
Penulis : John Updike
Penerjemah : Abdul Malik
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Des 2006
Tebal : 499 hal
Ahmad Ashamy Mulloy, seorang pemuda berusia delapan belas tahun adalah seorang remaja cerdas yang taat pada ajaran agamanya. Ia tinggal di New Prospect (New Jersey) yang materialistis dan hedonis bersama ibunya, Teresa Malloy yang berdarah Irlandia-Amerika. Ayahnya yang berkebangsaan Mesir, meningalkannya sejak Ahmad berusia tiga tahun. Ketika berusia sebelas tahun Ahmad memeluk agama Islam dan semenjak itu pula dua kali dalam seminggu ia mempelajari Kitab Suci Al-Quran dibawah bimbingan Syaikh Rasid, seorang imam masjid di West Main Stret – New Prospect.
Di sekolahnya, Ahmad dikenal sebagai murid yang pintar. Agamanya menjaganya dari obat-obatan terlarang dan tindakan asusila, meski hal ini membuatnya agak tersisih dari teman-teman kelasnya. Karena hidup selama bertahun-tahun tanpa ayah, dan hidup bersama ibunya seorang penganut Katolik yang tanpa iman, dan digembeleng dengan keras oleh guru agamanya, Ahmad tumbuh menjadi pengabdi setia pada Allah, menjadikanNYA sebagai teman sejati yang lebih dekat dari urat lehernya.
Pengaruh Syaikh Rasyid sedemikian besarnya dalam kehidupan Ahmad, tak seorangpun yang dapat mengalihkan perhatian Ahmad dari mengikuti ajaran agamanya yang disebut sebagai “Jalan yang Lurus”. Selain belajar membaca ayat-ayat suci Al-Quran, Ahmad juga diwajibkan untuk mengikuti petunjuk Allah secara total dalam kehidupannya, termasuk melakukan jihad dan mati syahid untuk melawan musuh-musuh Allah, antara lain bangsa Amerika yang dianggapnya sebagai bangsa yang kafir.
Setelah lulus dari SMA, Jack Levy, guru pembimbingnya menganjurkan agar Ahmad melanjutkan ke univeritas terkemuka. Namun Ahmad lebih mentaati anjuran Syaikh Rasyid agar ia menjadi supir truk. Ketika ia memperoleh pekerjaan sebagai supir truk di sebuah toko perabotan yang dimiliki oleh keluarga Libanon, ternyata sejumlah rencana telah diatur dengan rapih. Sejak awal Ahmad memang disiapkan oleh Syaikh Rasyid untuk menjalankan jihad dan melakukan misi bunuh diri dengan menjadikan dirinya pembawa truk berisi bom yang siap untuk diledakkan di terowongan di Lincoln – New Jersey. Akankah Ahmad bersedia menjalankan misi yang diyakininya sebagai misi suci untuk menghancurkan musuh-musuh Allah ?
Kisah diatas adalah karya teranyar dari John Updike, novelis senior yang produktif dan pemenang dua kali Putlitzer Prize (1981 & 1991). Novel ke duapuluh dua John Updike ini diberi judul Terorist (2006). Novel ini mendapat respon yang baik dari pembacanya. Baru saja beberapa minggu terbit, novel ini telah dicetak ulang sebanyak enam kali dengan jumlah 118.000 copy dan habis terjual dalam waktu yang singkat.
Apa yang menarik dari novel ini ? Novel ini memang tak seseram judulnya. Pembaca mungkin akan terkecoh melihat judulnya yang provokatif dan menyangka novel ini sarat dengan kekerasan dan baku tembak dengan plot yang cepat dan menegangkan.
Tidak!, kita tak akan menemukan adegan baku tembak atau berbagai peledakan yang menghiasi lembar-lembar novel ini. Novel ini memiliki alur yang cenderung lambat dan lebih mengutamakan eksplorasi karakter, kondisi psikologis beserta pemikiran para tokoh-tokohnya. Wikipedia mengkategorikan novel ini kedalam genre Philosophical, War.
Seperti dalam novel-novel lainnya Updike memang gemar mengkolase tema filsafat dengan tema aktual. Dalam Terorist, ia banyak bermain-main dengan apa yang ada dalam pikiran dan dialog-dialog para tokohnya yang sarat dengan debat filosofis dan teologis akibat benturan antara keyakinan tokoh-tokoh radikal dengan tokoh-tokoh sekuler yang hidup secara hedonis materialistis yang bisa dikatakan merupakan gambaran umum masyarakat Amerika.
Dari novelnya ini John Updike tampak menguasai Islam. Menurut Amitav Ghosh dalam reviewnya yang dimuat dalam Washington Post, Updake tak hanya sekedar membaca Al-Quran, ia juga mempelajarinya secara intens. Tak heran jika Updike menyertakan banyak kutipan ayat-ayat Al-Quran beserta pemahamannya dalam novelnya ini.
Seperti diungkap diatas, karakter tokoh-tokoh di novel ini dideskripsikan secara detail, selain tokoh Ahmad, tokoh-tokoh lainnya seperti Jack Levy (guru pembimbing Ahmad) Beth Levy , Teresa Malloy , Charlie Chebab (atasan Ahmad), mendapat porsi yang banyak dikupas sehingga mengakibatnya alur novel ini terasa lambat. Sayangnya juga karakter Syaikh Rasid hanya sedikit dikupas dibanding tokoh-tokoh lain, padahal dialah tokoh yang paling berpengaruh dalam kehidupan Ahmad.
Di novel ini juga pembaca akan melihat bagaimana kondisi kerohanian masyarakat Amerika yang dilihat dari sudut pandang tokoh Ahmad yang mewakili para pejuang kebenaran yang rela mati syahid demi keyakinannya. Di mata Ahmad Amerika adalah bangsa yang tidak memiliki Tuhan, “Dan karena tidak ada Tuhan, semua digambarkan dengan seks dan benda-benda mewah, Lihatlah televisi, Mr. Levy, bagaimana seks selalu memanfaatkan Anda agar bisa menjual sesuatu yang tidak Anda butuhkan. …Perhatikan bagaimana umat Kristiani melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap penduduk asli Amerika dan mengesampingkan Asia dan Afrika, dan sekarang mulai merambah Islam, dengan segala sesuatu di Washington yang dikendalikan oleh orang Yahudi untuk mengekalkan pendudukan mereka atas Palestina.” (hal 57).
Karena mengambil setting kota kecil di Amerika, beberapa tahun setelah serangan 11 September, novel ini juga mengungkap bagaimana sebenarnya kebebasan yang diagungkan oleh masyarakat Amerika justru “membuat negara ini lebih mudah disusupi teroris, dengan menyewa pesawat terbang dan mobil gerbong, serta mengeset website.” (hal 40). Phobia masyarakat Amerika terhadap sesuatu yang berbau Islam termasuk masyarakat muslimnya juga terungkap lewat sebuah dialog antar tokohnya “Kami memang memutus sambungan telepon setelah peristiwa Sebelas-September, kami sering menerima telepon bernada ancaman dari golongan Anti-Muslim” (hal 122).
Di 70 halaman terakhir terdapat hal yang sangat menarik, Updike mendeskripsikan dengan detail bagaimana akifitas yang dilakukan oleh Ahamd selaku pelaku bom bunuh diri lengkap dengan bagaimana gejolak batinnya pada saat ia mengemudikan truknya menuju titik sasaran dimana ia akan meledakkan truknya dan mati syahid untuk membela keyakinannya.
Apa manfaat yang bisa kita ambil dari novel ini ? Saat ini beberapa negara di dunia, khususnya Amerika memang selalu berada di bawah ancaman bayang-bayang sekelompok pihak yang sering disebut teroris. Bahkan indonesiapun sudah beberapa kali menjadi sasaran bom bunuh diri. Karenanya kehadiran novel ini setidaknya bisa memberikan gambaran apa sebenarnya yang mereka perjuangkan dan apa yang kira-kira ada di benak seorang pelaku bom bunuh diri sebelum ia melaksanakan tugasnya demi sebuah keyakinan yang dianutnya.
HERNADI TANZIL
Pengelola http://bukuygkubaca.blogspot.com |
|
|
[Semua Resensi Buku Ini] |
|