|
Rindu |
|
Rp 75.900
Hemat Rp 3.795 Rp 72.105
|
|
|
|
Apa itu Resensi?
Resensi adalah pertimbangan, pembicaraan atau ulasan sebuah buku.
Resensi itu bukan sekadar menceritakan isi buku atau sinopsis.
Resensi adalah penilaian Anda secara kritis setelah membaca isi buku, apa kelebihannya atau kekurangannya.
Jadi sekali lagi, resensi tidak sama dengan sinopsis dan resensi tidak mengandung spoiler (membocorkan isi cerita yang penting).
|
|
|
05 Des 2014 - 21:56:17
Isi Resensi : RINDU - TERE LIYE
Berlatar belakang sebuah kapal uap, kisah ini bermula dari keberangkatan haji di tahun 1938, saat Indonesia belum lagi merdeka. Kapal Blitar Holland, memulai perjalanannya dari pelabuhan Makassar dengan jamaah sebuah keluarga kecil Daeng Andipati beserta istri dan kedua anaknya Elsa dan Anna. Juga seorang ulama besar Gurutta Ahmad Karaeng, dan seorang pemuda bernama, Andi Uleng. Pemuda pelaut ini bergabung menjadi kelasi kapal demi bertujuan meninggalkan kampung halamannya sejauh-jauhnya, membuang kenangan manis kisah asmaranya.
Selain penduduk Makassar, ada pula sepasang suami istri dari Palu, Bonda Upe yang menjadi guru mengaji anak-anak selama di kapal beserta suaminya pak Enlay. Kemudian sepasang suami istri sepuh dari Semarang yang menjadi jamaah tertua di kapal tersebut. Tetapi ada juga yang bukan termasuk rombongan yang akan menunaikan ibadah haji, mereka adalah Sergeant Lucas yang memimpin pasukannya untuk mengawal perjalanan para inlander ke tanah suci, yang khawatir jika di antara penumpang ada yang melakukan pergerakan kemerdekaan.
Menunaikan ibadah haji pada masa tersebut tidaklah mudah, kendaraan tercanggih saat itu adalah kapal uap dan diperlukan waktu sekitar sembilan bulan dari saat keberangkatan hingga kembali ke tanah air. Rute ditempuh dari Pelabuhan Makassar, Surabaya, Semarang, Batavia, Padang, hingga menjemput rombongan jamaah berakhir di Banda Aceh sebelum melanjutkan perjalan ke Kolombo dan tiba di pelabuhan Jeddah. Belum lagi mengurus perijinan dengan pemerintah Hindia Belanda dan pengawasan militer Belanda yang selalu mencurigai bahwa di antara rombongan selalu bisa saja ada pejuang kemerdekaan.
Dalam novel RINDU ini, Tere Liye memberi banyak sekali warna pada plot cerita. Indahnya masa kanak-kanak ketika yang diketahui mereka hanya tertawa dan bermain. Ada juga sakitnya merasakan cinta yang dianggap sejati namun tak dapat bersama, cinta Ambo Uleng kepada seorang gadis yang diselamatkannya dari amukan badai laut, cinta berbalas namun terhalang perjodohan yang telah direncakan orangtua sejak jauh hari. Kemudian sebuah warna akan susahnya melupakan masa lalu kelam dari seorang Bonda Upe, masa lalu yang bahkan pemiliknya sendiri enggan berdamai dengannya.
Pun tentang kebahagian sempurna yang tampak pada kehidupan Daeng Andipati. Seorang saudagar sukses di Makassar, masa mudanya terbilang langka karena dapat mengenyam pendidikan di Belanda, istri dan anak-anak yang pintar. Namun kesakitan yang dirasakannya jauh di dalam hati tak dapat orang menebak, semua karena kebencian teramat sangat kepada sang ayah.
Kisah romantis tak mungkin tertinggal dalam cerita ini, lahir dari pasangan sepuh asal Semarang yang akrab disapa Mbah Kakung dan Mbah Putri. Menghabiskan 60 tahun hidup bersama, bertekad kuat untuk menunaikan ibadah haji bersama. Namun lagi-lagi Tere Liye seperti dengan sengaja ’tega’ menguras air mata pembaca. Manusia memang hanya mampu berencana, namun Allah lah Sang Penentu. Mbah Putri meninggal di tengah perjalanan, setelah beberapa hari kapal meninggalkan Aceh dan berlayar di lautan Malaka.
Tidak semua orang Belanda jahat pada masa itu. Mereka memang menjajah Indonesia. Namun para serdadu Belanda di bawah pimpinan Sergeant Lucas merasa bahwa semua orang yang berada di kapal berhak merasakan kemerdekaan. Terlebih Kapitein Phillip yang memimpin pelayaran, berkeras bahwa para penumpang yang notabene jamaah haji tidak perlu dikhawatirkan akan melakukan perlawanan.
Salah satu tokoh yang istimewa di dalam kisah ini adalah Gurutta Ahmad Karaeng, yang menjadi tokoh paling disegani seluruh penumpang, yang kata-katanya selalu didengar dan mujarab menjadi pelipur lara hati. Gurutta lah yang mampu meredakan kebencian Bonda Upe pada masa lalunya, Gurutta juga mampu membuat semburat warna kemerahan pada wajah Ambo Uleng untuk menemukan cinta sejatinya, Gurutta berhasil membujuk Mbah Kakung yang terkungkung dalam kesedihan karena ditinggal mbah Putri, Gurutta sukses membuang kebencian Daeng Andipati akan kenangan masa kecilnya dan puncaknya Gurutta berhasil menjadi ’komandan’ perlawanan para penumpang kapal terhadap perompak saat melewati Somalia. Namun siapa menyangka kalau Gurutta juga punya banyak pertanyaan besar yang ia sendiri tak mampu menjawab, cinta, pengorbanan, kepemimpinan, kemerdekaan....
Indahnya novel ini adalah kesantunan kata-kata yang dirangkai Tere Liye. Sunset Bersama Rossie adalah novelnya yang paling romantis yang pernah saya baca. Tapi novel Rindu lebih kompleks, betapa kuatnya cinta mengikat sebuah jiwa ketika mbah Kakung harus kehilangan mbah Putri, betapa hebatnya cinta membuat Ambo Uleng meninggalkan jabatannya sebagai juru kemudi kapal Phinisi dan rela menjadi seorang kelasi dapur hanya untuk pergi jauh dari kampung halaman, cinta juga yang membuat pak Enlay tetap mencintai Bonda Upe walau apapun masa lalunya. Karena cinta yang begitu besar jualah Daeng Andipati sangat membenci ayahnya. Dan terakhir Gurutta Karaeng mengajarkan bahwa cinta sejati tidak harus hanya datang sekali, ia bisa saja pergi dan kita bisa menemukannya lagi dalam bentuk yang lain.
”Jangan bilang kalau cinta harus selalu memiliki, sebab selalu ada banyak kehilangan pada saat kita memiliki dan jangan bilang kehilangan itu selalu menyakitkan, sebab ada banyak hal yang kita temukan bersamaan dengan kehilangan itu.... Biarkan rindu dan melupakan selalu berdampingan seperti 2 sisi mata uang.....” |
|
|
[Semua Resensi Buku Ini] |
|