Tears Of Heaven - From Beirut To Jerusalem

DESCRIPTION

Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan di Kamp Pengungsian Palestina "Sebagai seorang Kristen fundamentalis, dulu aku mendukung Israel, membenci orang-orang Arab, dan memendang PLO sebagai teroris yang harus dikutuk dan ditakuti. Pengalamanku di Sabra-Shatila menyadarkanku bahwa orang Palestina adalah manusia. Seperti orang-orang lain, aku harus menghadapi kenyataan yang pahit, aku harus bertobat - kebodohan dan prasangkaku telah membutakan mataku dari penderitaan bangsa Palestina. Buku ini adalah kesaksianku." Lingkungan religi dr. Ang Swee Chai membuat ia mendukung Israel. Media internasional menimbulkan kesan bahwa orang Arab adalah teroris. Namun, pada 1982, saat Israel menyerang Beirut dengan brutal, dr. Ang mulai mempertanyakan anggapannya itu. Mendengar bahwa dibutuhkan sukarelawan ahli bedah untuk merawat para korban perang di Beirut, Ia memutuskan untuk mengajukan diri. Ia berhenti dari pekerjaannya di rumah sakit, ia tinggalkan suami tercintanya di London, menuju Beirut yang dicabik-cabik perang. *** Cetak ulang ganti cover baru

REVIEW Tears Of Heaven - From Beirut To Jerusalem

Oleh : nonibeen, 18 Okt 2006-15:34:09

Rating

Buku ini adalah salah satu buku memoar yang menggugah hati saya. Setelah membaca bab pertama yang berkesan biasa maka saya memaksakan diri untuk membaca bab selanjutnya dan dari sinilah buku itu seperti memberikan gambaran yang jelas di depan mata saya tentang perjuang Dr. Ang dalam membantu rakyat Palestina bertahan hidup ditengah-tengah \"hujan\" bom bukan hanya dari Israel tetapi juga dari sesama bangsa Arab namun beda suku.

Sekali membaca buku ini, saya seperti tidak ingin berhenti ingin terus mengetahui perjuangan demi perjuangan yang dilakukan Dr. Ang dan kolega-koleganya baik sesama sukarelawan maupun juga rakyat Palestina sendiri untuk berusaha bertahan untuk hidup keesokan harinya. Tak heran jika buku ini akan membuat semua yang membacanya tergugah atas penderitaan rakyat Palestina yang terbuang dari tanah air mereka.

Dr. Ang juga menggambarkan dengan baik kehidupan rakyat Palestina di kamp-kamp pengungsi di Beirut maupun ditanah pendudukan. Kehidupan yang berusaha mereka jalankan senormal mungkin dibawah tekanan, siksaan dan bombardir musuh-musuh para pengungsi Palestina. Juga bagaimana anak-anak Palestina akhirnya lebih akrab dengan kematian, senjata dan kelaparan daripada dengan keceriaan, keluarga dan sekolah. Namun semua itu tidak pernah mengikis ketabahan, ketegaran dan keramahan khas rakyat Palestina. Di dalam kesusahan mereka masih dapat berbagi dengan sesamanya tak memandang suku, agama dan ras.

Rasanya setelah membaca buku ini, ingin terbang ke Beirut untuk membantu mereka.